Rabu, 27 April 2011
Ada hasil riset dari Kementerian Kesehatan – RI yang dipublikasikan oleh harian Kompas pekan lalu ( 21/04/11) yang menarik perhatian saya, pasalnya hasil riset tersebut mengungkapkan bahwa tinggi badan anak laki-laki Indonesia berusia lima tahun rata-rata kurang 6.7 cm dari yang seharusnya, dan rata-rata untuk anak perempuan kurang 7.3 cm dari tinggi yang seharusnya 110 cm.
Lebih jauh juga diungkapkan bahwa terjadinya penurunan tinggi badan ini adalah karena kurangnya konsumsi pangan hewani yang diperkirakan rata-rata hanya 60% dari yang seharusnya. Riset ini seolah meng-konfirm analisa saya sebelumnya, bahwa meskipun GDP Per kapita kita naik sampai Rp 27 juta pada tahun 2010 – kenaikan ini nampaknya memang belum berarti membawa kemakmuran (yang merata) bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Hasil riset yang tentunya sudah dilakukan dengan seksama oleh para ahlinya tersebut sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang sangat serius dari para pengambil keputusan di negeri ini. Bila tidak, maka dikawatirkan postur tubuh rata-rata bangsa kita yang selama ini sudah lebih pendek dari bangsa lain ( terasa betul ketika main bola atau lagi berhimpitan dalam ibadah haji !), akan semakin pendek lagi kedepannya.
Lantas bagaimana solusi konkrit untuk mencegahnya ?.
Akar masalahnya sudah jelas, setidaknya dari sisi kesehatan – para ahli sudah tahu bahwa badan kita tidak bisa tinggi bila tubuh kekurangan protein hewani yang didalamnya juga mengandung sejumlah zat gizi mikro yang menjadi kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang di usia anak. Protein hewani ini sumbernya antara lain bisa diperoleh dari daging, aneka jenis ikan dan juga dari telur.
Di negeri kepulauan tropis ini, berbagai jenis binatang yang dagingnya halalan thoyibah mudah sekali hidup dan berkembang biak, unggas yang menghasilkan telur juga begitu banyak jenisnya, apalagi lautan yang menghasilkan ikan begitu melimpah ruah sampai di curi-curi oleh nelayan asing !, lantas apa masalahnya kok sampai penduduk negeri ini kekurangan konsumsi pangan hewani ?.Saya melihat setidaknya ada dua faktor yang membuat kita seperti ‘ayam mati di lumbung padi’.
Pertama adalah faktor internal kita sendiri yang sangat minim jiwa entrepreneurship-nya sehingga cenderung memilih solusi yang gampang dalam jangka pendek – meskipun merugikan dalam jangka panjang.Kedua adalah faktor eksternal politik dagang pihak asing yang memang begitu getolnya menjadikan negeri dengan penduduk yang nyaris mencapai 240 juta ini sebagai pasarnya.
Faktor eksternal sudah saya bahas dengan bukti sejarah dalam tulisan saya kemarin (26/04/11), maka pada tulisan ini akan lebih saya arahkan untuk faktor internal – yaitu menumbuhkan semangat enterpreneurship, semangat untuk mengolah dan berproduksi dari sumber daya alam yang telah dikaruniakan Allah secara melimpah di negeri ini.
Entrepreneurship bisa muncul dari problem, bisa pula dari peluang.
Dalam kasus kekurangan pangan hewani diatas – keduanya ada yaitu problem dan peluang.
Problemnya jelas – ada kebutuhan yang belum terpenuhi dan
peluangnya pun juga jelas – ada sumber alam yang melimpah yang insyaAllah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut !.
Yang dibutuhkan kemudian hanyalah para (calon) entrepreneur yang mau berpikir keras, bekerja keras dan siap menanggung risiko.
Tanpa adanya para (calon) entrepreneur yang mau kerja keras dan siap menanggung risiko ini, maka problem seperti kekurangan pangan hewani ini akan dicarikan solusi yang seolah nampak cepat, mudah dan murah yaitu solusi impor saja !.
Daging impor memang murah, tetapi bisa dibayangkan bila untuk menutupi kekurangan pangan hewani tersebut diimpor – negeri ini akan tambah miskin dan secara makro jangka panjang akan semakin tidak mampu membeli kebutuhan pangannya.
Inilah paradox harga murah produk impor yang belum banyak kita sadari. Bila kita terjebak hanya mencari solusi yang murah kemudian impor apa saja yang kita butuhkan, dampaknya akan justru sebaliknya – kita akan semakin tidak bisa menjangkau kebutuhan kita.
Kok bisa ?
Berikut adalah formula sederhana untuk menghitung GDP yang merepresentasikan pendapatan penduduk negeri ini.
Y = C + I + G + (X - M)
Y= GDP ; C = Consumption ; I = Investment ; X = Export dan M= Import. GDP per capita adalah GDP dibagi jumlah penduduk.
Bila untuk kebutuhan konsumsi (C ) dipenuhi dari import (M) ; maka GDP (Y) tidak tumbuh seperti yang seharusnya ketika konsumsi meningkat.
Konsumsi yang meningkat ini biasanya bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk, jadi bisa dibayangkan bila yang dibagi (GDP) tumbuh lebih kecil dari meningkatnya pembagi (jumlah) penduduk – maka hasil rata-ratanya (GDP Per Capita) akan turun , alias penduduk negeri menjadi semakin miskin – semakin tidak mampu menjangkau kebutuhannya.
Ilustrasi grafis-nya dapat dilihat dibawah.
GDP Model (tidak ditampilkan di blog ini)
Grafik tersebut diatas memperlihatkan bahwa pada tingkat konsumsi yang sama (ambil salah satu garis), bila semakin tinggi pemenuhan konsumsi ini dari import maka akan semakin rendah GDP per capita-nya (dari titik A ke B).
Bila konsumsi meningkat - GDP mestinya meningkat (perpindahan dari satu garis ke garis diatasnya), namun bila bersamaan dengan peningkatan GDP ini impor juga meningkat maka GDP per capita belum tentu meningkat – bahkan bisa turun ( dari titik A ke C).
Lho tapi kenyataannya GDP per capita kita kan meningkat dari Rp 6.75 juta ( 2000) ke Rp 27 juta (2010) ?.
Peningkatan ini sangat bisa jadi adalah semu karena diukur dengan Rupiah, sedangkan daya beli Rupiah terhadap benda riil mengalami peluruhan tinggal separuhnya setiap 4.3 tahun.
Penurunan daya beli riil ini nampak jelas manakala angka GDP per capita tersebut kita konversikan ke Dinar.
Rp 6.75 juta tahun 2000 adalah setara dengan 22 Dinar, sedangkan Rp 27 juta tahun 2010 adalah hanya setara dengan 17 Dinar.
Kita tahu bahwa lebih dari 1400 tahun harga Dinar setara dengan kambing kelas baik standar qurban, jadi bila GDP per capita tersebut dipakai untuk membeli pangan hewani (kambing contohnya) – memang hasilnya menurun, maka jangan kaget kalau tinggi rata-rata kita juga menurun - seperti yang terungkap dari hasil riset diatas !.
Perlu diingat pula bahwa GDP per capita yang dihitung dengan pendekatan rata-rata penduduk juga tidak mencerminkan kondisi kemakmuran yang sesungguhnya, karena berdasarkan hukum pareto 80 % pendapatan sesungguhnya dikuasai oleh 20 % penduduk – sedangkan 80% penduduk berbagi di 20 % pendapatan.
Walhasil penelitian sektoral seperti yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan – RI terhadap tinggi rata-rata anak Indonesia tersebut diatas – menurut saya lebih konkrit mendefinisikan masalah yang ada di masyarakat.
Karena definisi masalah yang sudah jelas ini, maka solusinya juga dapat lebih jelas.
0 comments:
Post a Comment